Indonesia memiliki kekayaan alam melimpah. Namun, pemerintah 
sendiri mengakui salah urus dalam mengelola potensi tersebut Wakil 
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswo Utomo 
mengakui kesuksesan ekspor kekayaan alam Indonesia belum menyejahterakan
 rakyat. Penyebabnya adalah ketidakpaduan dalam diri pemerintah, 
khususnya pusat dan daerah. Masing-masing mengeluarkan aturan sendiri 
dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA). 
"Kita semua punya, yang 
belum punya adalah rasa kebersamaan. Kita harus sama, kita harus satu," 
ujar Susilo dalam diskusi Kadin di Jakarta, Ambil contoh dalam kasus 
batu bara, salah satu komoditas primadona tambang kita. 
Negara 
ini sejatinya tidak punya banyak batu bara. British Petroleum 
Statistical Review melansir, cadangan batu bara Indonesia hanya 4,3 
miliar ton, 0,5 persen cadangan dunia. Namun, dari 340 juta ton produksi
 setiap tahun, 240 juta ton diekspor. 
Padahal Perusahaan Listrik
 Negara (PLN) sudah berkali-kali berteriak pembangkitnya butuh pasokan 
batu bara. Kabarnya banyak pemerintah daerah yang kaya batu bara begitu 
royal memberi konsesi tambang untuk perusahaan asing, yang jelas 
berorientasi ekspor. Berlawanan dari pemerintah pusat yang berusaha 
mengatur pasokan bahan bakar non-fosil agar lebih merata. 
Itu 
baru satu kasus, belum lagi menengok persoalan minyak dan gas (migas). 
Sistem production sharing contract (PSC) memang membuat sebuah blok 
minyak tetap menjadi milik pemerintah, meski perusahaan asing yang 
mengelolanya. Namun, karena pemerintah tak serius mengembangkan 
Pertamina, akhirnya BUMN itu seperti jadi anak tiri di negeri sendiri. 
Saat
 ini Pertamina sebagai perusahaan migas nasional hanya menyumbang 24 
persen dari produksi minyak domestik. Alhasil, target lifting pemerintah
 826.000 barel per hari dipenuhi dari kinerja operator asing seperti 
Chevron atau British Petroleum. 
Dengan pengelolaan SDA yang 
melulu berorientasi ekspor dan cenderung melupakan kebutuhan dalam 
negeri, untung perusahaan berada di urutan pertama, baru disusul 
kesejahteraan rakyat. Itupun melalui jatah yang diperoleh pemerintah 
pusat dan daerah terlebih dulu, untuk kemudian disalurkan ke masyarakat.
 
Padahal, setiap kali isu pemerataan hasil kekayaan alam muncul,
 warga selalu ingat pasal 33 Undang-Undang Dasar Indonesia. Beleid itu 
mengamanatkan sumber daya alam harus dioptimalkan sebesar-besarnya demi 
kemakmuran rakyat. 
Lebih parah lagi, karena menyerahkan SDA pada
 perusahaan asing, pemerintah saat ini tidak terlihat ingin 
mengembangkan industri hulu di dalam negeri. Padahal pasokan bahan baku 
dari kekayaan alam, penting untuk penguatan industri hulu seperti semen 
dan kertas. 
Ketua Tim Kerja RUU Perindustrian Kadin, Rauf 
Purnama menilai visi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
tidak jelas soal pengelolaan kekayaan alam hingga pengembangan industri 
hulu. Berbeda dari era Presiden Soekarno. 
"Misalnya sepatu, 
baju, karpet, itu industri hulu bahannya dikuasai asing, harusnya itu 
pemerintah lebih mengembangkan ke situ. Bung Karno dulu banyak bikin 
pabrik kertas, semen, itu industri hulu. Nanti kalau (industri) sudah 
mampu diserahkan ke swasta," kata Rauf. 
Di tengah carut marut 
tersebut, investor asing menangguk untung besar. Ekspor terus berjalan 
dan pengerukan SDA Indonesia tetap berlangsung. 
Meski demikian 
mereka tidak bisa disalahkan, karena ekspansi bisnis tersebut berjalan 
sesuai koridor. Bahkan pemerintah sendiri yang memberi karpet merah bagi
 perusahaan migas dan tambang luar negeri untuk menggarap kekayaan alam 
di Tanah Air. 
Dari pelbagai sumber, merdeka.com memetakan negara
 mana saja yang pihak swasta dan BUMN-nya memiliki banyak konsesi 
tambang dan migas di Tanah Air. Otomatis keuntungan besar dari kekayaan 
alam Indonesia juga dinikmati oleh perusahaan asing tersebut. Berikut 
ini daftarnya 5 Negara yang Menikmati Keuntungan dari Alam Indonesia 
1. Amerika Serikat 

 
Di
 bidang tambang dan pengelolaan blok migas, Amerika Serikat merupakan 
salah satu pemain utama di Indonesia Tentu masyarakat sangat familiar 
dengan Freeport McMoran, perusahaan tambang yang mengelola lahan di 
Tembagapura, Mimika, Papua. Produksi tambang itu per hari mencapai 
220.000 ton biji mentah emas dan perak. 
Selain Freeport, masih 
ada Newmont, perusahaan asal Colorado, Amerika, yang mengelola beberapa 
tambang emas dan tembaga di kawasan NTT dan NTB. Tahun lalu, setoran 
perusahaan ke pemerintah mencapai Rp 689 miliar, sudah mencakup semua 
pajak, dari keuntungan total mereka. Jika dari NTT saja, pada 2012 
pendapatan Newmont mencapai USD 4,17 juta. 
Belum lagi sederet 
operator migas yang rata-rata kelas kakap sebagai mitra pemerintah 
mengelola blok migas. Chevron, memiliki jatah menggarap tiga blok, dan 
memproduksi 35 persen migas Indonesia.
Disusul ConocoPhilips
 yang mengelola enam blok migas. Perusahaan yang telah 40 tahun 
beroperasi di Indonesia ini merupakan produsen migas terbesar ketiga di 
Tanah Air. Lalu, tentu saja ExxonMobil yang bersama Pertamina menemukan 
sumber minyak 1,4 miliar barel dan gas 8,14 miliar kaki kubik di Cepu, 
Jawa Tengah.
2. China  

 
Negeri
 Tirai Bambu sangat aktif mencari sumber energi non-migas dari negara 
lain, termasuk Indonesia. Salah satu investasi besar mereka di Tanah Air
 adalah bidang batu bara. Selain itu, SDA seperti nikel dan bauksit juga
 diincar perusahaan-perusahaan China. 
Perusahaan tambang skala 
menengah dan besar China bergerak di seluruh wilayah. Mulai dari 
Pacitan, Jawa Timur, sampai Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Salah satu
 perusahaan besar adalah PT Heng Fung Mining Indonesia yang berinvestasi
 di bidang nikel, di Halmahera, Maluku, dengan target produksi bisa 
mencapai 200 juta ton. 
PetroChina, perusahaan migas pelat merah 
China juga mengelola beberapa blok. Salah satu yang baru ini tersorot 
adalah 14 blok di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yang disegel 
pemerintah setempat karena persoalan CSR.
3. Inggris 
British
 Petroleum (BP) adalah operator lama sektor migas di Indonesia. 
Mengelola blok gas Tangguh di Papua, lewat anak perusahaan BP Berau, 
investasi terbaru perusahaan asal Inggris itu di blok tersebut mencapai 
USD 12,1 miliar. 
BP mengelola Blok Tangguh Train III, dengan 60 
persen jatah mereka dapat diekspor ke Asia Pasifik, sementara 40 persen 
disalurkan ke Indonesia. 
Pasokan gas yang dibutuhkan PLN juga 
akan disalurkan oleh BP. Kerja sama strategis tersebut tertuang dalam 
nota kesepahaman (MoU) pasokan gas alam cair untuk pembangkit milik PLN 
sebesar 230 mmscfd. 
Perusahaan dan investor lain asal Inggris 
saat ini sedang mengincar sektor sumber daya alam strategis lainnya. 
Khususnya di bidang industri ramah lingkungan. 
4. Prancis 
Perusahaan
 migas asal Negeri Anggur, Total, sudah bermitra cukup lama dengan 
pemerintah Indonesia Total E&P Indonesie mengelola blok migas 
Mahakam, Kalimantan Timur. Total bekerjasama dengan Inpex Corp dalam 
mengelola blok Mahakam. Total mengendalikan 50 persen saham di blok 
tersebut dan Inpex sisanya. 
Pada 2008, Total mengajukan proposal
 untuk memperpanjang kontrak karena ingin melakukan investasi lebih 
lanjut. Total memproyeksikan Blok Mahakam pada 2013 memberikan 
pendapatan US$ 8,92 miliar. 
Selain Total, perusahaan Prancis 
lain, Eramet, berinvestasi di kawasan timur Indonesia. Eramet beroperasi
 di Indonesia melalui kepemilikan saham pada PT Weda Bay Nickel di bawah
 konsorsium Strand Mineralindo. 
Investasi proyek pengolahan dan 
pemurnian (smelter) bahan tambang di Halmahera Utara, Maluku tersebut 
mencapai US$ 5 miliar (Rp 50 triliun) dengan kapasitas 3 juta ton per 
tahun. 
5. Kanada 
Canadian
 International Development Agency (CIDA) mengembangkan 12 proyek di 
Sulawesi saja, semuanya berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam.
 
Sheritt International dan Vale juga membuka tambang di 
Indonesia. Khusus Vale, investasi di Sulawesi Tengah mencapai USD 2 
miliar. 
Melalui Nico Resources yang menjadi perpanjangan tangan 
perusahaan migas Calgary asal Kanada, kini ada 20 blok yang dikelola, 
pengelola blok terluas di Indonesia.